Pengolahan air berwarna dengan absorben merupakan teknologi yang tepat untuk saat ini. Sebab, untuk mengatasi masalah pencemaran air akibat pembuangan pewarna ke dalam sumber daya air, sebetulnya berbagai teknologi telah diteliti. Ada yang menggunakan koagulasi, flokulasi, biodegradasi, adsorpsi, pertukaran ion, dan oksidasi lanjutan. Di antara pendekatan tersebut, adsorpsi adalah yang paling hemat energi dan biaya.
Sudah berabad-abad lamanya, manusia memiliki akses ke air sebagai sumber daya yang melimpah dan gratis digunakan di belahan dunia. Namun, sayangnya saat ini situasinya telah berubah. Kelangkaan air telah menjadi acaman bagi komunitas manusia di bumi.
Menurut Santhosh et al., (2016), penyebab utama kelangkaan air adalah polusi perkotaan, pertanian, dan industri. Di sektor-sektor ini, konsumsi air telah meningkat sebanyak 70% (pertanian), 22% (industri), dan 8% (domestik) dari air tawar yang tersedia dan, secara proporsional, sejumlah besar air limbah yang mengandung berbagai polutan telah dihasilkan.
Oleh karena itu, tidak diragukan lagi, pelepasan air limbah dari sektor komersial dan industri bersama dengan limbah domestik yang tidak diolah, dan polutan kimia ke dalam sumber air tawar adalah bencana tidak hanya untuk komunitas manusia tetapi juga untuk hewan dan tumbuhan serta ekosistem. Ion logam berat, organik (misalnya, pewarna), dan minyak yang keberadaannya di aliran air mendiskualifikasi untuk minum adalah bagian dari kontaminan air utama (Forgacs, Cserháti and Oros, 2004).
Dalam bahasa Homaeigohar (2020), air bersih itu adalah elemen vital untuk kelangsungan hidup makhluk hidup apa pun. Dengan demikian, sangat penting untuk dicapai secara besar-besaran dan ekonomis bagi negara mana pun di seluruh dunia. Namun, tren industrialisasi dan pertumbuhan penduduk yang sangat cepat dan polusi air yang meluas telah menantang akses ke air bersih di seluruh dunia.
Klasifikasi Pewarna
Kalau kita lihat kondisi yang ada selama ini, ada beberapa klasifikasi pewarna dilihat dari sifat, aplikasi, dan toksisitasnya. Menurut laporan yang ditulis oleh Tan et al., (2015), paling tidak ada enam kalisifikasi pewarna itu, yaitu:
Pertama, pewarna asam. Pewarna asam ini larut dalam air berasal dari anionik. Aplikasi di alam biasanya ada pada nilon, wol, sutra, kertas, kulit, pencetakan ink-jet. Sifat toksisitas pewarna asam ini bersifat karsinogenik.
Kedua, pewarna kationik. Pewarna kationik ini larut dalam air, dan keberadaannya dapat memebebaskan kation berwarna. Aplikasi di alam dapat diketemukan dalam industri kertas, PAN, nilon yang dirawat, poliester yang dirawat, dan sebagai antiseptik untuk biomedis. Keberadaan pewarna kationik ini memiliki toksisitas yang tergolog karsinogenik.
Ketiga, pewarna dispersi (disperse). Jenis pewarna yang membubarkan ini tidak larut dalam air. Ia termasuk yang non-ionik dan keberadaannya untuk dispersi berair/hidrofobik. Aplikasi di alam dapat ditemukan pada poliester, nilon, selulosa, selulosa asetat, dan serat akrilik. Dilihat dari toksisitasnya, pewrna jenis ini bersifat alergenik (kulit) dan termasuk karsinogenik.
Keempat, pewarna langsung. Secara properti keberadaan pewarna ini tidak larut dalam air, bersifat anionik, dan keberadaanya meningkatkan ketahanan luntur terhadap pencucian jika dikelat dengan garam logam. Aplikasi di alam dapat ditemukan pada kapas, selulosa yang diregenerasi, industri kertas dan kulit. Efek toksisitas dari pewarna golongan ini adalah menyebabkan kanker kandungan kemih.
Kelima, pewarna reaktif. Golongan pewarna ini tahan luntur pencucian yang sangat tinggi berkat ikatan kovalennya dengan serat, dan keberadaannya menghasilkan warna yang lebih cerah dibandingkan dengan pewarna langsung. Aplikasi di alam terdapat pada kapas, wol, nilon, dan pencetakan ink-jet tekstil. Adapun efek toksisitasnya adalah menyebabkan dermatitis, konjungtivitas alergi, rinitis, dan asma akibat di tempat kerja.
Keenam, pewarna vat (tong). Berdasarkan properti, pewarna tong ini menggunakan larutan garam leuco setelah reduksi dalam penangas basa (NaOH). Secara alami, ditemukan pada serat selulosa. Secara toksisitas belum ditemukan secara nyata.
Pengolahan Air Berbasis Adsorpsi
Untuk mengatasi masalah pencemaran air akibat pembuangan pewarna ke dalam sumber daya air, sebetulnya berbagai teknologi telah diteliti. Ada yang menggunakan koagulasi, flokulasi, biodegradasi, adsorpsi, pertukaran ion, dan oksidasi lanjutan. Di antara pendekatan tersebut, adsorpsi adalah yang paling hemat energi dan biaya (Santhosh et al., 2016), (Gupta and Suhas, 2009).
Dalam catatan Homaeigohar (2020), disebutkan ada 1,6 juta ton pewarna dikonsumsi setiap tahun, dan darinya ada 10%-15% terbuang selama penggunaan. Untuk menghilangkan warna aliran air, ada kebutuhan mendesak untuk pendekatan remediasi lanjutan yang melibatkan pemanfaatan bahan dan teknologi baru, yang hemat biaya dan energi. Yaitu menggunakan nanomaterials, dengan sifat fisikokimia yang luar biasa, berpotensi dapat mengatasi tantangan kebutuhan untuk pengolahan air dengan cara yang kurang menuntut energi.
Teknik adsorpsi itu, memungkinkan penghilangan kedua kelompok kontaminan air organik, anorganik, dan biologis yang larut dan tidak larut. Sebagai contoh, untuk menghilangkan zat warna, industri produksi zat warna secara tradisional menggunakan karbon aktif komersial berkat porositasnya yang menonjol dan luas permukaan yang besar (500–2000 m 2 ·g -1 ). Namun demikian, jenis adsorben khusus ini diproduksi dengan biaya tinggi dan relatif mahal.
Selain itu, untuk meregenerasi karbon aktif, harus dilakukan dengan aliran bertekanan tinggi, sehingga meningkatkan biaya operasi. Oleh karena itu, sistem adsorpsi yang mahal tersebut telah membenarkan untuk mengusulkan adsorben pewarna alternatif yang efisien dan berbiaya rendah (Tan et al., 2015).
Nanomaterials adalah kandidat material yang berpotensi tinggi untuk pengolahan air dan ada prospek yang menjanjikan untuk integrasi mereka ke dalam sistem point-of-use, dan juga dalam penghilangan mutlak polutan organik saat ini dan yang muncul dari air dan air limbah.
Walau demikian, bahan nano tersebut dianggap dapat menunjukkan sifat adsorptif. Atau paling tidak meruapakan kombinasi dari yang adsorptif dan fotokatalitik. Nanomaterial tersebut diklasifikasikan menurut dimensinya (0-3D).
Akhirnya, meskipun banyak manfaat nanomaterial untuk penghilangan pewarna termasuk luas permukaan spesifik yang luar biasa, kinetika penghilangan yang lebih cepat, produksi lumpur yang rendah, kemungkinan penggunaan dalam berbagai kimia air, efisiensi biaya, dll., teknologi yang dibutuhkan untuk pekerjaan dalam pengolahan air masih dalam pengembangan dan pada skala laboratorium. Untuk itu, mari kita tunggu perkembangan selanjutnya.
Arda Dinata