Kedaulatan pangan petani tradisi sangat membantu dalam menciptakan ketahanan pangan. Dan keberadaan ketahanan pangan ini menjadi hal penting dalam kehidupan manusia. Ketahanan pangan itu merupakan suatu kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.
Keberadaan pangan ini menjadi hal penting dalam kehidupan manusia. Atas pola pikir inilah, dalam tataran kehidupan masyarakat ini dikenal adanya ketahanan pagan (pemerintah) dan kedaulatan pangan (masyarakat). Keberadaan dua hal inilah menjadi penting untuk dikedepankan saat kita bicara masalah keamanan pangan (segi kesehatan).
Secara sederhana, ketahanan pangan itu merupakan suatu kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Sedangkan kedaulatan pangan adalah konsep pemenuhan pangan melalui produksi lokal, di mana pemenuhan hak atas pangan yang berkualitas gizi baik dan sesuai secara budaya, diproduksi dengan sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Berdasarkan pengertian tersebut, terlihat kalau ketahanan pangan itu lebih menitikberatkan pada ketersediaan pangan bagi rakyat sebagai tujuan akhir dari pembangunan pangan. Sementara itu, kedaulatan pangan lebih menitikberatkan pada hal kemandirian pangan, perlindungan kepada petani, dan ekosistem lokal. Program kedaulatan pangan yang ada di masyarakat itu mengandung arti bahwa sebuah negara harus mampu mengatur produksi dan konsumsi pertanian yang berorientasi kepada kepentingan lokal dan nasional, bukan pasar global.
Kedaulatan Pangan Masyarakat Tradisi
Ada satu hal terkait ketahanan pangan ini adalah apa yang dilakukan oleh masyarakat tradisi di beberapa daerah Indonesia. Yaitu, pola pertanian tradisi yang berkelanjutan sebagai usaha menciptakan kedaulatan pangan yang dilakukan oleh masyarakat tradisi.
Berikut ini, ada beberapa contoh terkait kedaulatan pangan yang dilakukan oleh masyarakat tradisi, yaitu:
Pertama, masyarakat petani Humbung Hasundutan. Mereka ini mendiami salah satu wilayah proyek Food Estate di Tapanuli, Sumatera Utara. Pertanian yang dilakukan sejak lama adalah perkebunan kakao (ekonomi jangka panjang); pertanian cabai, kentang, tomat (ekonomi jangka pendek); dan kebun kemenyan (haminjon) sebagai tabungan.
Petani menolak untuk ikut dalam program food estate karena dari hasil yang ada sudah mencukupi. Bagi mereka, menjual lahan pertanian adalah tabu. Bahkan, membuka hutan adalah pelanggaran adat (hutan mendukung hajat orang banyak). Hasilnya, pertanian berkelanjutan pada beberapa masyarakat adat.
Kedua, masyarakat Adat Banten Kidul. Pada daerah ini, pola pertanian turun temurun dari nenek moyang yang merupakan hasil adaptasi dengan alam dalam waktu lama. Pola pertanian padi masyarakat di Baduy adalah padi ladang karena menyesuaikan dengan kontur alam/lahan pertanian yang berada di kemiringan.
Untuk perhitungan waktu tanam menyesuaikan dengan kaidah alam. Hal ini menghindari kegagalan panen akibat dari bencana alam (misalnya kemarau) atau hama padi. Sedangkan untuk proses penanaman menggunakan bibit yang sama sedari dahulu tanpa pupuk dan dilakukan satu tahun hanya satu kali.
Sementara itu, pola tanam dibedakan antara padi yang untuk dikonsumsi dengan padi untuk bibit di masa tanam berikutnya. Hasil panen sebagian disimpan di lumbung (leuit) pribadi dan lumbung komunal sebagai tabungan (ketahanan pangan). Bagi masyarakat tradisi di daerah ini, ternyata tabu untuk memperjual belikan padi.
Ketiga, masyarakat Kasepuhan Banten Kidul. Wilayah masyarakat Kasepuhan Banten Kidul ini meliputi: wilayah yang ada di Kasepuhan Ciptagelar, Cisungsang, Cisitu, Cicarucub, Citorek, Cibedug, dan Sirnarasa. Pada daerah tersebut, pola pertanian yang dilakukan adalah padi sawah (perkampungan adat berada di lembah-lembah pegununan Halimun).
Di sini, padi ditanam satu tahun sekali dengan sela penanaman ikan. Lalu, untuk bibit padi adalah sama yang digunakan oleh nenek moyangnya. Pola tanam padi dibedakan untuk padi konsumsi dan padi bibit.
Hasil panen disimpan di lumbung (leuit) pribadi dan lumbung komunal (untuk ketahanan pangan). Sedangkan untuk pola penyimpanan di lumbung diatur sedemikian rupa sehingga padi konsumsi dan padi bibit bisa bertahan puluhan tahun. Masyarakat di sini tabu untuk memperjual belikan padi.
Akhirnya, berdasarkan paparan dalam pembahasan di atas, terlihat bukti nyata dari kultur pertanian tradisi yang berdaulat dan berkelanjutan hendaknya bisa diadopsi/dijadikan pijakan dalam memodernisasi pertanian di Indonesia. Dan pemerintah sebaiknya berpikir tentang bagaimana melakukan modernisasi pertanian dengan lebih memanfaatkan pertanaian yang sudah ada. (Rohmansyah W. Nurindra/AD).