Berinvestasi Menyelamatkan Bumi: Kesehatan Lingkungan dan Perubahan Iklim

27 May 2021Kesehatan Lingkungan

Beranda 9 Kesehatan Lingkungan 9 Berinvestasi Menyelamatkan Bumi: Kesehatan Lingkungan dan Perubahan Iklim

“Kita perlu membangun warga dunia yang fasih dalam konsep perubahan iklim dan terinspirasi oleh pendidikan lingkungan untuk bertindak dalam membela (menjaga) planet ini.”

–      Presiden earthday.org Kathleen Rogers.

Setiap tanggal 22 April, kita memperingati Hari Bumi dengan maksud agar manusia sebagai penghuni bumi ini menjadi sadar dalam menjaga bumi tetap lestari. Tema hari bumi tahun 2022 mengambil tema, “Berinvestasi di Planet Kita”. Berikut ini, akan saya sampaikan catatan terkait berinvestasi menyelamatkan bumi: kesehatan lingkungan dan perubahan iklim.

Tema itu, sangat cocok untuk menyadarkan manusia dengan kondisi di bumi ini sedang terjadi perubahan iklim. Artinya, hari bumi 2022 ini difokuskan pada percepatan solusi untuk memerangi ancaman terbesar kita, yaitu perubahan iklim dan untuk mengaktifkan semua orang (pemerintah, warga negara, dan kalangan bisnis) untuk melakukan bagian mereka.

Semua orang bertanggung jawab menyelematkan bumi yang kita diami ini. Sebab, adanya perubahan iklim akibat ulang manusia sendiri. Perubahan iklim akan sangat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan lingkungan di semua belahan bumi ini.

Hari bumi 2022 ini, akan difokuskan untuk melibatkan lebih dari 1 miliar orang, pemerintah, institusi, dan bisnis yang berpartisipasi dalam acara akbar tersebut. Goalnya adalah untuk mengakui tanggung jawab bersama dalam membantu mempercepat transisi menuju ekonomi hijau yang adil dan sejahtera bagi semua. Inilah wujud dari berinvestasi menyelamatkan bumi.

Salah satu aksinya adalah kampanye untuk penggunaan teknologi bahan bakar fosil, yang kotor itu dan mengarahkan perhatian untuk menciptakan ekonomi abad ke-21 yang mengembalikan kesehatan planet bumi dan melindungi spesies.

Perubahan Iklim dan Kesehatan Lingkungan

Sejak pertengahan 19thPada abad ini, aktivitas manusia telah meningkatkan gas rumah kaca seperti karbon dioksida, metana, dan dinitrogen oksida di atmosfer bumi yang mengakibatkan peningkatan suhu rata-rata. Efek dari kenaikan suhu termasuk degradasi tanah, hilangnya produktivitas lahan pertanian, penggurunan, hilangnya keanekaragaman hayati, degradasi ekosistem, berkurangnya sumber daya air tawar, pengasaman lautan, dan gangguan dan penipisan ozon stratosfer (Rossati, 2017).

Semua itu berdampak pada kesehatan manusia, menyebabkan penyakit tidak menular seperti cedera saat bencana alam, kekurangan gizi saat kelaparan, dan peningkatan kematian saat gelombang panas akibat komplikasi pada pasien yang sakit kronis. Bahkan, paparan langsung terhadap bencana alam juga berdampak pada kesehatan mental.

Secara demikian, keberadaan kesehatan populasi sangat butuh daya dukung kondisi kesehatan lingkungan. Sedangkan perubahan iklim telah mempengaruhi banyak hal terkait kondisi kesehatan lingkungan pada suatu daerah.

Dalam bahasa Barrett, Charles and Temte (2015), kesehatan populasi tergantung pada ketersediaan udara bersih, air, makanan, dan sanitasi, paparan patogen, racun dan bahaya lingkungan, dan berbagai faktor genetik, perilaku dan sosial. Selama ribuan tahun, harapan hidup manusia rendah, dan pertumbuhan penduduk lambat.

Padahal, perkembangan peradaban berbasis teknologi memfasilitasi apa yang disebut Abdel Omran sebagai “transisi epidemiologis”, dengan meningkatnya harapan hidup dan pertumbuhan populasi yang cepat. Untuk sebagian besar, pertumbuhan populasi manusia yang spektakuler selama dua abad terakhir dimungkinkan oleh energi yang diekstraksi dari bahan bakar fosil.

Kita sekarang telah belajar, bagaimanapun, bahwa gas rumah kaca dari pembakaran bahan bakar fosil menghangatkan permukaan planet, menyebabkan perubahan dalam sistem samudera dan atmosfer, dan mengganggu pola cuaca dan hidrologi. Perubahan iklim menimbulkan ancaman yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap kesehatan manusia dengan dampak pada ketahanan pangan dan air, gelombang panas dan kekeringan, badai hebat, penyakit menular, dan naiknya permukaan laut.

Itulah ancaman atas kualitas kesehatan atas dampak yang ditimbulkan dari terjadinya perubahan iklim. Bahkan, tidak hanya sektor kesehatan (lingkungan) yang terkena dampak. Tapi, hampir semua sektor mendapat imbasnya. Seiring waktu, perubahan iklim dapat mengurangi sumber daya pertanian melalui berkurangnya ketersediaan air, perubahan dan penyusutan lahan subur, peningkatan polusi, akumulasi zat beracun dalam rantai makanan, dan penciptaan habitat yang sesuai untuk transmisi patogen manusia dan hewan. Orang-orang yang tinggal di negara-negara berpenghasilan rendah sangat rentan (Rossati, 2017).

Hal tersebut, berarti perubahan iklim diperkirakan akan berdampak di setiap domain masyarakat, termasuk kesehatan. Mayoritas populasi dunia rentan terhadap patologis, penyakit menular yang siklus hidupnya sensitif terhadap faktor lingkungan di berbagai fase fisik termasuk udara, air dan tanah. Hampir semua yang disebut penyakit tropis terabaikan (NTDs) termasuk dalam kategori ini, yang berarti bahwa pola geografis penularan puluhan infeksi di masa depan kemungkinan akan dipengaruhi oleh perubahan iklim dalam jangka pendek (musiman), menengah (tahunan) dan panjang (dekadal) (Booth, 2018).

Dewasa ini, masih belum diketahui apakah umat manusia dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dengan cukup cepat untuk memperlambat perubahan iklim ke tingkat yang memungkinkan masyarakat untuk berhasil beradaptasi. Paling tidak, kalau mengikuti saran dari banyak badan ilmiah, misalnya yang tertuang dalam Kesepakatan Kopenhagen 2009, menyebutkan kalangan ilmiah menyerukan adanya kebijakan yang akan membatasi rata-rata pemansan planet tidak lebih dari 2,0°C (Ramanathan and Xu, 2010).

Lebih teknis lagi, untuk menyelamatkan kondisi kesehatan lingkungan (planet bumi), perkiraan terbaik saat ini yang terbaik itu tidak lebih dari 400 hingga 800 gigaton CO2 sebagai tambahan yang dapat ditambahkan ke atmosfer jika kita ingin memiliki peluang yang wajar untuk tetap berada dalam batas aman (Change, 2014), (Meinshausen et al., 2009).

Peran Sektor Kesehatan Lingkungan

Pada tataran lebih luas, skenario perubahan iklim mencakup perubahan distribusi penyakit menular dengan pemanasan dan perubahan wabah yang terkait dengan peristiwa cuaca ekstrem. Setelah banjir, dilaporkan peningkatan kasus leptospirosis, infeksi campylobacter, dan kriptosporidiosis. Pemanasan global mempengaruhi pemanasan air, meningkatkan transmisi patogen yang terbawa air.

Patogen yang ditularkan oleh vektor sangat sensitif terhadap perubahan iklim karena mereka menghabiskan sebagian besar siklus hidupnya di invertebrata inang berdarah dingin yang suhunya mirip dengan lingkungan. Iklim yang lebih hangat menghadirkan kondisi yang lebih menguntungkan untuk kelangsungan hidup dan penyelesaian siklus hidup vektor, sejauh mempercepatnya seperti dalam kasus nyamuk. Penyakit yang ditularkan oleh nyamuk termasuk beberapa penyakit yang paling luas di seluruh dunia seperti malaria dan penyakit virus.

Kunci peran kesehatan lingkungan dalam pengendalian perubahan iklim ini adalah perlunya membangun warga dunia yang sadar lingkungan, yaitu lewat pendidikan lingkungan. Jadi, sangat tepat apa yang disampaikan Presiden earthday.org, Kathleen Rogers berikut ini.

“Kita perlu membangun warga dunia yang fasih dalam konsep perubahan iklim dan terinspirasi oleh pendidikan lingkungan untuk bertindak dalam membela (menjaga) planet ini.” (Presiden earthday.org Kathleen Rogers).

Itulah beberapa catatan dalam memperingati Hari Bumi, 22 April, terkait berinvestasi menyelamatkan bumi: kesehatan lingkungan dan perubahan iklim. Semoga catatan kecil ini, semakin menyadarkan semua kalangan akan pentingnya program kesehatan lingkungan untuk berperan dalam upaya pengurangan terhadap perubahan iklim.

Tepatnya, keterlibatan sektor kesehatan akan bekerja untuk mengembangkan program pencegahan dan adaptasi untuk mengurangi biaya dan beban perubahan iklim tersebut. Bagaimana menurut Anda?

Arda Dinata

Print Friendly, PDF & Email

Berita Sebelumnya

Vaksinasi MPOX untuk Kelompok Resiko Tinggi: LSL dan GBMSM

Vaksinasi MPOX untuk Kelompok Resiko Tinggi: LSL dan GBMSM

Pemberian vaksin Mpox di Indonesia hanya ditujukan untuk kelompok berisiko tinggi sesuai dengan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) soal pemberian vaksin cacar dan Mpox. Menurut Direktur Pengelolaan Imunisasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI dr. Prima...

Alat Kontrasepsi Hanya untuk Pasangan yang Sudah Menikah

Alat Kontrasepsi Hanya untuk Pasangan yang Sudah Menikah

Jakarta, 6 Agustus 2024 Pemerintah telah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan. Salah satunya memuat upaya pemerintah meningkatkan layanan promotif dan preventif atau mencegah masyarakat menjadi...

Tekan Konsumsi Perokok Anak Dan Remaja

Tekan Konsumsi Perokok Anak Dan Remaja

Jakarta, 2 Agustus 2024 Aturan pengendalian zat adiktif produk tembakau yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menjadi sorotan publik. Khususnya, aturan...