Filosofi PHBS (perilaku hidup bersih dan sehat), sanitasi dan memutus penularan penyakit Covid-19 adalah tiga hal yang harus terus diperhatikan. Artinya, secara filosofi program PHBS itu adalah ruh sanitasi dan keduanya sangat efektif untuk mencegah penyebaran penyakit menular yang penyebarannya berbasis pada kondisi sanitasi dan perilaku manusia yang buruk, termasuk Covid-19.
Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) berupa cuci tangan dengan air bersih dan sabun adalah yang tepat dan murah bisa dilakukan oleh siapa saja. Sebab secara umum cara penularan penyakit menular (seperti Covid-19), bisa lewat menghirup percikan ludah dan bersin atau batuk penderita. Jadi, keberadaan filosofi PHBS, sanitasi dan memutus penularan penyakit merupakan hal penting diperhatikan.
Selanjutnya, bisa lewat kontak jarak dekat dengan penderita, seperti bersentuhan atau jabat tangan. Yang terakhir dapat terjadi penularan dengan perilaku memegang mulut dan hidung tanpa mencuci tangan setelah menyentuh benda yang terkena air liur penderita.
PHBS dan Covid-19
Atas fakta keberadaan Covid-19 itu, tentu tidak berlebihan keberadaan PHBS ini dapat menjadi langkah tepat dalam memutus mata rantai penularan di masyarakat. Apalagi, bak pasukan infiltrator yang bergerak senyap, kemampuan virus SAR-CoV-2 si penyebab Covid-19 ini memang istimewa. Untuk itu, jangan sepelekan keberadaan keberadaan filosofi PHBS, sanitasi dan memutus penularan penyakit ini.
Apalagi, dengan masa inkubasi 2-14 hari, virus itu masuk ke wilayah musuh untuk menggalang kekuatan terlebih dahulu. Namun, ketika virus itu menunjukkan keperkasaannya, tubuh manusia yang dijangkiti bakal seketika memburuk tiada ampun (Widyasmoro, 2020).
Tubuh yang dimasuki virus apa pun, belum tentu selalu harus jatuh sakit. Peperangan berlangsung di dalam tubuh yang sudah dimasuki virus, oleh karena tubuh memiliki perangkat kekebalan, atau sistem imun, baik berupa cairan dalam darah maupun sel darah putih.
Keduanya secara bermitra menyerbu tempat di mana virusnya masuk. Namun, belum tentu perangkat kekebalan tubuh punya semua senjata penumpas untuk melawan virus yang sudah terlanjur masuk (Nadesul, 2020).
Penularan SARS-CoV-2 sendiri terjadi melalui percikan air akibat batuk atau bersin (droplet) yang menyembur hingga jarak dua meter. Virus ini di dalam droplet, berdasarkan suatu percobaan simulasi, sebagian kecil mampu bertahan di udara minimal selama 3 jam, dan sebagian besar bertahan di permukaan tubuh dan benda selama 5,6 hingga 6,8 jam bila tidak dilakukan proses disinfeksi.
Virus menginfeksi manusia ketika menyentuh permukaan benda atau menghirup droplet yang terkontaminasi, sehingga virus menempel pada selaput lendir mata, hidung, dan saluran napas termasuk paru. Tubuh mengalami radang untuk membunuh virus sehingga timbul gejala umum seperti demam hingga lebih dari 37,5 derajat celsius (Pratomo, 2020).
Dalam bahasa lain, seperti digambarkan Widyasmoro (2020), keluhan yang dirasakan mirip orang terkena “flu”, mulai dari demam, batuk, pilek, nyeri dada, dan sesak napas. Namun lebih jauh, yang muncul kemudian bisa pneumonia, sindrom gangguan pernapasan akut, sepsis, atau syok septik. Pada komplekasi yang parah, kematian bisa datang menyapa.
Adapun orang-orang yang berisiko tinggi tertular COVID-19 adalah mereka yang memiliki sistem imunitas lemah, anak kecil, dan usia di atas 70 tahun (lansia). Kondisi ini diperberat lagi bila penderita memiliki riwayat penyakit penyerta seperti diabetes melitus, penyakit jantung, penyakit paru menahun, dan kanker.
Lebih celaka, Covid-19 juga bisa mengakibatkan serangan infeksi yang lebih luas (sistemik). Mekanismenya memang belum diketahui persis, namun ternyata virus ini juga didapati bercokol pada sistem pencernaan, hati, bahkan ginjal. Organ-organ yang terserang makin memperburuk kondisi pasien secara keseluruhan, hingga akhirnya berujung kematian.
Sementara itu, menurut Julianto (2020), kalau kita bandingkan dengan tingkat penularan virus Covid-19 jauh lebih tinggi dibandingkan virus SARS maupun MERS, namun tingkat fatalitasnya tergolong lebih rendah. Lebih mirip virus influenza biasa. Bandingkan dengan virus flu burung H5N1 yang diidentifikasi tahun 1997 hingga saat ini tercatat 861 kasus dengan 453 kematian (52,8%), atau virus flu burung H7N9 yang diidentifikasi tahun 2013 dengan 1.568 kasus dan 616 kematian (39,3%).
Virus penyebab Covid-19, si bungsu dari virus Corona tadi sebenarnya tidak lebih galak dibanding saudara dekatnya. Yang membedakan hanyalah, daya tular virus Covid-19 yang cepat. Apa artinya ihwal daya tularnya yang cepat? Artinya berdaya tular cepat, tidak boleh ada orang pembawa virus yang berkeliaran di tempat publik. Tersangka, terdampak Covid-19, seharusnya tidak keluar rumah (Nadesul, 2020). Untuk itu, tepat kita mengedepankan keberadaan filosofi PHBS, sanitasi dan memutus penularan penyakit tersebut.
Filosofi PHBS
Secara filosofi perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) merupakan sebutan untuk semua perilaku kesehatan yang dilakukan atas kesadaran sehingga anggota keluarga atau keluarga dapat menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan dan dapat berperan aktif dalam kegiatan kesehatan di masyarakat. PHBS di rumah tangga ini dilakukan untuk mencapai rumah tangga sehat.
Rumah tangga sehat adalah rumah tangga yang melakukan: 1) persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan; 2) memberi ASI ekslusif; 3) menimbang bayi dan balita; 4) menggunakan air bersih; 5) mencuci tangan dengan air bersih dan sabun; 6) menggunakan jamban sehat; 7) memberantas jentik di rumah; 8) makan buah dan sayur setiap hari; 9) melakukan aktivitas fisik setiap hari; 10) tidak merokok di dalam rumah (Kemnekes, 2011).
Pada konteks kasus Covid-19 ini, perilaku PHBS yang kelima yaitu mencuci tangan dengan air bersih dan sabun tersebut harus dilakukan dalam berbagai kesempatan aktivitas sehari-hari masyarakat untuk memutus mata rantai penularan penyakit tersebut. Hal ini didasarkan pada upaya pencegahan infeksi Covid-19 yang dapat dilakukan dengan cara: hindari menyentuh wajah dengan tangan; sering cuci tangan dengan sabun dan air bersih; pakailah masker, jika Anda demam, batuk, dan pilek atau dalam masa penyembuhan sehabis sakit.
Apalagi berdasarkan hasil penelitian, kondisi perilaku cuci tangan masyarakat Indonesia masih di bawah 50 persen. Gambaran proporsi perilaku cuci tangan dengan benar pada penduduk umur > 10 tahun di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 adalah 47 persen dan meningkat pada hasil Riskesdas tahun 2018 menjadi 49,8 persen. Padahal, pedoman pembinaan PHBS ini sudah lama dikeluarkan pemerintah lewat Permenkes RI No. 2269/Menkes/Per/XI/2011.
Untuk itu, budaya PHBS ini masih terus digalakan dan momentum pandemi Covid-19 ini adalah menjadi momentum yang tepat untuk menanamkan budaya cuci tangan dengan air bersih dan sabun tersebut. Padahal, ada perbedaan jumlah angka kuman antara mencuci tangan menggunakan air mengalir, sabun, hand sanitizer, dan tanpa cuci tangan.
Cairan pembersih tangan antiseptik (hand sanitizer) efektif terhadap penurunan jumlah angka kuman dan secara deskriptif yang paling efektif adalah hand sanitizer berupa alkohol 60% (Desiyanto & Djannah, 2013). Sedangkan, untuk sampai bisa tertular Covid-19 cukup berhadapan dengan satu pembawa Covid-19. Dan itu berlangsung umumnya di tempat publik (Nadesul, 2020).
Maksud aktivitas cuci tangan dengan benar itu adalah bila perilaku cuci tangan pakai sabun yang dilakukan sebelum menyiapkan makanan, setiap kali tangan kotor (memegang uang, binatang dan berkebun), setelah buang air besar, setelah menceboki bayi/anak, setelah menggunakan pestisida/insektisida, sebelum menyusui bayi dan sebelum makan. Ada tujuh langkah dalam mencuci tangan yang benar, yaitu: telapak bertemu telapak, di sela jari tangan, punggung tangan, jari sebelah luar, kuku, pergelangan tangan, bilas dan keringkan (Kemenkes, 2011).
Di sini, tentu kita perlu disiplin diri dalam membangun kerja sama, pengertian, dan pengorbanan untuk tidak berkegiatan sosial dibutuhkan untuk kepentingan yang lebih besar. Yakni untuk melindungi individu rentan yang memiliki faktor risiko, mengurangi jumlah spreader yang berada di dalam masyarakat. Dan membiasakan gaya hidup bersih dan sehat serta asupan gizi seimbang sehingga terhindar dari berbagai penyakit dan gangguan kesehatan (Pratomo, 2020).
Sudah sepantasnya kasus virus yang menghebohkan dunia seperti SARS, MERS, dan terakhir Covid-19 harusnya kian menyadarkan manusia akan pentingnya keberadaan filosofi PHBS, sanitasi dan memutus penularan penyakit tersebut. Tampaknya ada sesuatu yang salah dengan interaksi antara manusia dengan satwa liar di seputar manusia.
Mengutip laporan BBC, perubahan lingkungan dan iklim telah menggusur dan mengubah habitat hewan. Otomatis cara hidup, tempat tinggal, dan pola makan mereka pun berubah. Di sisi lain, cara hidup manusia juga berubah; sekitar 55% populasi manusia kini hidup di kota, meningkat 35% dibanding 50 tahun lalu.
Lalu, dampaknya kota-kota besar ini menyediakan tempat hidup bagi hewan liar seperi tikus, rakun, tupai, rubah, unggas, anjing liar, monyet yang biasa hidup di ruang terbuka hijau dan memakan sampah yang dihasilkan manusia. Terkadang hewan liar ini lebih sukses hidup di kota dari pada di alam liar karena banyaknya pasokan makanan. Maka ruang kota lantas menjadi tempat pertemuan berbagai penyakit yang berevolusi (Surono, 2020).
Jadi, waspadalah dan terus budayakan hidup bersih dan sehat. Tepatnya, keberadaan filosofi PHBS, sanitasi dan memutus penularan penyakit ini harus kita kedepankan dan budayakan dalam kehidupan sehari-hari.
Arda Dinata