Praktik higiene dan sanitasi makanan di rumah sakit menjadi hal penting karena makanan dapat menjadi sarana penularan infeksi, menyebabkan wabah penyakit bawaan makanan pada populasi rentan (orang sakit). Tenaga kesehatan (penjamah makanan) dapat menularkan infeksi melalui kontak langsung, udara, atau makanan yang diberikan kepada pasien.
(World Health Organization/WHO).
Belum lama ini, Journal of Preventive Medicine and Hygiene (2020) mempublikasikan sebuah hasil penelitian terkait pengetahuan, sikap dan praktik higiene dan sanitasi makanan di rumah sakit jiwa di Indonesia. Hasil publikasi ini, menurut saya sangat menarik untuk diketahui oleh mereka yang bergerak dalam sanitasi rumah sakit, khususnya penjamah makanan.
Tidak hanya itu, hasil penelitian tersebut walau dilakukan di rumah sakit, sebenarnya bisa jadi bahan introspeksi bagi mereka yang bergerak dalam dunia jasa boga. Sebab, pada prinsipnya, praktik kegiatan penjamah makanan itu sama saja. Yang membedakan hanyalah lokasi kegiatannya, ada yang di rumah sakit, panti jompo, lembaga pemasyarakatan, asrama, dan lainnya.
Hasil penelitian yang dipublikasikan di Journal of Preventive Medicine and Hygiene (2020) itu menyebutkan tingkat pengetahuan dan sikap higiene dan sanitasi pada umumnya (>80%) baik pada penjamah makanan, meskipun lebih dari sepertiga (38%) berada dalam kategori praktik yang kurang baik. Tidak ada korelasi yang ditemukan antara pengetahuan, sikap, dan praktik terlepas dari kombinasi antara dua faktor (p > 0,05); menunjukkan bahwa pengetahuan tidak harus ditransfer ke dalam praktik di antara penjamah makanan.
Mayoritas (73%) penjamah makanan tidak pernah menerima pelatihan formal apa pun terkait dengan higiene dan sanitasi dan karakteristik individu ini secara signifikan berkorelasi dengan praktik mereka (p <0,05). Kemungkinan penyebab praktik higiene dan sanitasi yang buruk termasuk faktor yang berhubungan dengan orang dan manajemen sumber daya manusia, terutama kapasitas manajer dalam memberlakukan peraturan dan memantau kepatuhan staf terhadap SOP yang telah ditetapkan (Palupi, Fitasari and Utami, 2020).
Lalu, pelajaran apa yang bisa kita ambil hikmahnya dari hasil temuan tersebut? Menurut saya, paling tidak ada dua hal yang bisa jadi bahan masukan buat mereka yang menangani pelayanan higiene sanitasi makanan dan khususnya terkait penjamah makanan, yaitu:
- Tingkat pengetahuan dan sikap higiene & sanitasi makanan yang baik dimiliki oleh para penjamah makanan, ternyata tidak menjamin terhadap praktik penjamah makanan itu juga baik. Artinya, setiap tahapan proses higiene sanitasi makanan itu harus diawasi secara ketat dalam praktiknya.
- Para penjamah makanan yang pernah mendapat pelatihan formal terkait dengan higiene dan sanitasi makanan saja masih melakukan praktik higiene dan sanitasi makanan yang buruk. Lalu, bagaimana kualitas para penjamah makanan yang tidak pernah melakukan pelatihan?
Dari dua kondisi tersebut, hemat saya ada hal yang harus fokus dilakukan oleh para penanggungjawab yang menangani praktik higiene dan sanitasi makanan di rumah sakit. Menurut saya, peningkatan pengetahuan, sikap dan praktik higiene dan sanitasi makanan lewat pelatihan formal bagi para penjamah makanan adalah sesuatu yang wajib dilakukan secara periodik.
Selanjutnya, setelah para penjamah makanan itu mendapat pelatihan secara periodik. Langkah yang dilakukan adalah dengan menerapkan aturan kerja (SOP) dengan adanya pengawasan yang tegas dari manajemen sumber daya manusia di bagian tersebut. Sehingga, paling tidak para penjamah makanan tersebut akan terbiasa melakukan pekerjaannya dengan baik dan serius karena ada pengawasan dari pimpinan.
Higiene dan Sanitasi Makanan
Higiene dan sanitasi makanan di rumah sakit memiliki titik kritis dalam menjaga kualitas makanan yang dihasilkan. Untuk itu, pelayanan makanan di rumah sakit harus mendapat perhatian khusus karena makanan dapat menjadi sarana penularan infeksi, menyebabkan wabah penyakit bawaan makanan pada populasi yang rentan. Tenaga kesehatan dapat menularkan infeksi melalui kontak langsung, udara, atau makanan yang diberikan kepada pasien (World Health Organization, 2020).
Secara tegas diungkapkan, keberadaan higiene dan sanitasi ini merupakan aspek yang perlu dijaga dalam semua kegiatan yang berlangsung di rumah sakit untuk melindungi pasien, petugas kesehatan, dan pengunjung dari risiko infeksi (Collins, Drake and Deacon, 2013). Jadi, higiene dan sanitasi penjamah makanan adalah suatu hal yang tidak terpisahkan dari praktik manajemen sanitasi rumah sakit secara keseluruhan.
Secara khusus, terkait kesehatan makanan ini, menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1096 Tahun 2011, fasilitas katering makanan wajib memenuhi standar peraturan higiene dan sanitasi yang ditetapkan untuk setiap jenis tempat usaha untuk mencegah dampak kesehatan yang merugikan (Ministry of Health Indonesia, 2011). Masalah kesehatan makanan itu tidak main-main, apalagi di rumah sakit yang melayani pasien. Apalagi hasil studi menunjukkan, sebagian besar wabah penyakit bawaan makanan disebabkan oleh praktik penanganan makanan yang tidak tepat (Lues and Van Tonder, 2007); (Clayton et al., 2002) dan terkait langsung dengan penjamah makanan (Beatty et al., 2009); (Barrabeig et al., 2010).
Lima Faktor Penanganan Makanan
WHO mengidentifikasi lima faktor penanganan makanan yang terkait dengan wabah penyakit bawaan makanan: memasak yang tidak tepat, salah penanganan suhu selama penyimpanan makanan, kontaminasi silang, sanitasi dan kebersihan yang buruk, dan penggunaan air dan bahan baku yang tidak aman, yang sebagian besar terkait erat dengan aktivitas kerja para penjamah makanan. Untuk memastikan bahwa penjamah makanan mempraktikkan cara penanganan makanan yang benar, keberadaan pengetahuan dan pelatihan sangat penting sebagai bagian dari pekerjaan mereka (Martins, Hogg and Otero, 2012).
Atas dasar itu, keberadaan penjamah makanan ini memiliki peran penting dalam keamanan makanan karena praktik penanganan makanan yang buruk dapat menyebabkan keracunan makanan. Penjamah makanan dapat memasukkan patogen ke dalam makanan selama persiapan, produksi, dan distribusinya (Green et al., 2005).
Ada sebuah penelitian yang menyelidiki kemanjuran pelatihan higiene penjamah makanan di rumah sakit pendidikan yang menggarisbawahi pentingnya pelatihan berkala tentang higiene makanan untuk menjaga tingkat pengetahuan tetap tinggi dengan mencegah informasi dilupakan serta terus meningkatkan pengetahuan para penjamah makanan tersebut (Acikel et al., 2008). Dan yang tidak kalah penting adalah temuan yang menyatakan bahwa perbedaan skor inspeksi higiene disebabkan oleh berbagai faktor, terutama budaya manajemen (Kirby and Gardiner, 1997).
Akhirnya, budaya manajemen harus diciptakan senyaman dan seefektif mungkin agar tercipta kualitas praktik para penjamah makanan dalam menerapkan higiene dan sanitasi makanan. Semoga informasi ini menjadi bahan untuk pengembagan kualitas layanan higiene dan sanitasi makanan di rumah sakit. Bagaimana menurut Anda?
Arda Dinata