Mitigasi Bencana Pada Dua Masyarakat Adat di Banten Kidul

24 Oct 2021Info Kesehatan

Beranda 9 Info Kesehatan 9 Mitigasi Bencana Pada Dua Masyarakat Adat di Banten Kidul

Makalah mitigasi bencana pada dua masyarakat adat di Banten Kidul. Lewat malakah ini, akan dibahas terkait mitigasi bencana banjir, tanah longsor, kebakaran, dan gempa bumi. Dengan harapan, lewat pemahaman terkait keseiapan dalam menghadapi bencana (mitigasi bencana) tersebut, masyarakat terhindar dari bahaya yang ditimbulkan ketika datang bencana.

Konsep sentral ekologi itu ekosistem. Pengertian ekosistem ialah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Sistem sendiri adalah komponen-komponen yang bekerja teratur sebagai suatu kesatuan.

Keteraturan tersebut terjadi karena adanya arus materi dan energi yang dikendalikan arus informasi antar komponen dalam ekosistem itu. Ketika masing-masing komponen berfungsi dan bekerja sama dengan baik, maka ekosistem itu terjaga.

Hal itu menunjukkan bahwa ekosistem  ada dalam sebuah keseimbangan. Keseimbangan ini bersifat dinamis, selalu berubah, yang terjadi secara alamiah maupun akibat dari adanya campur tangan manusia.

Sayangnya, adanya sifat antroposentris menjadi pandangan manusia. Di mana, dalam pengelolaan lingkungan hidup, permasalahan dilihat dari sudut pandang manusia. Kepentingan manusia selalu jadi perhatian utama walaupun lingkungan biotik dan abiotik juga diperhatikan. Seperti lingkungan biotik, misalnya hewan dan tumbuhan, selalu berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan manusia, baik sebagai bahan makanan, bahan sandang, atau kebutuhan lainnya.

Indonesia sebagai salah satu negara dengan sumber daya alam yang melimpah dan beragam. Namun, Indonseia menjadi salah satu negara yang rawan terhadap bencana alam. Secara geografis Indonesia dilalui zona cincin api pasifik. Bukan hanya itu, wilayah Indonesia juga berapa pada pertemuan lempeng-lempeng tektonik.

Kedua hal tersebut, membuat Indonesia rentan terjadi bencana alam, terutama bencana gunung meletus dan gempa bumi. Selain itu, Indonesia masih mempunyai beberapa risiko bencana alam lain, baik yang disebabkan oleh kerusakan alam itu sendiri maupun yang disebabkan oleh aktivitas manusia.

Laporan Badan Negara Penanggulangan Bencana (BNPB) mengenai akumulasi peristiwa bencana alam dari bulan Januari-Juli 2021 mencapai 1.805 kejadian. Bencana banjir paling mendominasi yaitu sebanyak 733 kejadian; disusul oleh cuaca ekstrim sebanyak 475 kejadian. Selanjutnya, adalah bencana tanah longsor 342 kejadian, karhutla 205 kejadian, gempa bumi 23 kejadian, gelombang pasang dan abrasi 22 kejadian, serta bencana kekeringan sebanyak lima kejadian.

Dampak dari berbagai bencana alam tersebut, sebanyak 508 orang meninggal dunia, 69 orang dinyatakan hilang, luka-luka sebanyak 12.881 orang. Sementara orang yang harus meninggalkan tempat tinggalnya untuk mengungsi sebanyak 5,8 juta orang (Antara, 2021). Selain bencana alam, saat ini di Indonesia juga sedang terjadi bencana non alam yaitu pandemi covid-19.

Untuk menyikapi hal itu, kita perlu paham terkait proses mitigasi bencana. Lewat malakah ini, akan dibahas terkait mitigasi bencana banjir, tanah longsor, kebakaran, dan gempa bumi. Dengan harapan, lewat pemahaman terkait keseiapan dalam menghadapi bencana (mitigasi bencana) tersebut, masyarakat terhindar dari bahaya yang ditimbulkan ketika datang bencana.

Makalah mitigasi bencana pada dua masyarakat adat di Banten Kidul. Lewat malakah ini, akan dibahas terkait mitigasi bencana banjir, tanah longsor, kebakaran, dan gempa bumi. Dengan harapan, lewat pemahaman terkait keseiapan dalam menghadapi bencana (mitigasi bencana) tersebut, masyarakat terhindar dari bahaya yang ditimbulkan ketika datang bencana.

Bencana, Mitigasi Bencana, dan Kearifan Lokal

Bencanaselalu identik dengan sesuatu yang buruk. Menurut UU No. 24 tahun 2007, disebutkan bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebab-kan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Berbagai bencana alam dapat menimbulkan kerugian bagi manusia, misalnya bangunan yang hancur, lingkungan yang rusak, bahkan sampai korban jiwa. Maka untuk itu dilakukan upaya-upaya untuk mengurangi kerugian akibat bencana alam. Untuk itu, kita perlu memahami akan mitigasi bencana.

Mitigasi bencana diartikan sebagai serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (Pasal 1 ayat 6 PP No 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana). Dalam arti lain, mitigasi ini pada umumnya dilakukan dalam rangka mengurangi kerugian akibat kemungkinan terjadinya bencana, baik itu korban jiwa dan/atau kerugian harta benda yang akan berpengaruh pada kehidupan dan kegiatan manusia.

Lebih jauh, pada umumnya bencana alam disebabkan oleh tiga faktor yaitu fenomena alam, tindakkan manusia, dan kombinasi diantara keduanya (Dooley 1990 dalam Iskandar 2009). Tsunami dan gunung meletus adalah contoh dari bencana akibat dari fenomena alam.

Sedangkan tanah longsor, yang sering terjadi saat ini, seringkali merupakan akibat dari ulah manusia yang semena-mena melakukan penggundulan hutan. Sementara banjir ialah gabungan dari pengaruh alam yaitu tingginya curah hujan, pengaruh manusia yang melakukan penggundulan hutan, kebiasaan membuang sampah sembarangan, sampai drainase yang tidak dikelola dengan baik.

Mitigasi bencana adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah bencana atau mengurangi dampak bencana. Hal ini berkaitan dengan siklus penanggulangan bencana berupa upaya penanganan sebelum terjadinya bencana (Subiyantoro 2010). Sementara menurut Kementerian Dalam Negeri, mitigasi bencana diartikan sebagai upaya dan kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi dan memperkecil akibat yang ditimbulkan oleh bencana yang meliputi kesiapsiagaan.

Mitigasi Bencana adalah istilah yang digunakan untuk menujukkan pada semua tindakan untuk mengurangi dampak dari satu bencana yang dapat dilakukan sebelum bencana itu terjadi. Hal ini termasuk juga pada kesiapan serta tindakan-tindakan pengurangan resiko dalam waktu jangka panjang.

Istilah mitigasi berlaku untuk cakupan yang luas dari aktivitas dan tindakan perlindungan yang mungkin diawali dari bentuk fisik, seperti membangun bangunan-bangunan yang lebih kuat, sampai dengan hal-hal yang bersifat “prosedural”, seperti teknik-teknik yang baku untuk menggabungkan penilaian bahaya di dalam rencana penggunaan lahan.

Dalam hal ini, masyarakat adat umumnya memiliki pengetahuan lokal mengenai mitigasi bencana. Oleh karena itu, upaya mitigasi bencana seharusnya melibatkan berbagai pihak termasuk masyarakat adat.

Menurut UU no. 32. Tahun 2009, disebutkan bahwa “Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.”

Sementara itu, kearifan lokal adalah “Nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.”

Dengan demikian, kearifan lokal merupakan pandangan dan pengetahuan tradisional yang menjadi acuan dalam berperilaku dan telah dipraktikkan secara turun-temurun untuk memenuhi kebutuhan dan tantangan dalam suatu masyarakat. Fungsi dan makna kearifan lokal dalam masyarakat, selain mempertahankan adat dan budaya juga sebagai upaya pelestarian sumberdaya alam dan sumber daya manusia.

Pada konteks ini, masyarakat adat itu mempunyai kearifan lokal yang diperoleh dari pengalaman empiris yang kaya sebagai hasil dari interaksi dengan ekosistemnya. Pada masyarakat adat, manusia dan alam adalah satu kesatuan karena keduanya sama-sama diciptakan Yang Maha Kuasa, serta diyakini sama-sama memiliki roh.

Alam bisa menjadi ramah, jika manusia itu memperlakukan secara arif. Sebaliknya, alam akan marah, jika manusia merusaknya. Alam yang sedang marah inilah yang disebut dengan bencana. Bisa berupa gunung meletus, banjir, tanah longsor, dan lainnya.

Masyarakat adat juga berpandangan bahwa bencana sebetulnya adalah sebuah jawaban, bukan musibah yang perlu dipertanyakan. Setelah bertahun-tahun kekayaan bumi dikuras, bumi perlu mengembalikan keseimbangannya.

Musibah adalah jawaban bumi atas “siksaan-siksaan” yang dialami oleh bumi. Oleh karena hal inilah, maka masyarakat tersebut, umumnya mempunyai pengetahuan lokal dan kearifan ekologi dalam memprediksi dan melakukan mitigasi bencana di daerahnya.

Berbagai contoh kearifan lokal dapat ditemukan diberbagai masyarakat adat yang ada di Indonesia. Berikut ini adalah kearifan lokal mengeani mitigasi bencana di beberapa masyarakat adat di tatar Sunda yaitu Masyarakat Baduy di Banten Kidul (Selatan) dan Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar di Kabupaten Sukabumi.

Makalah mitigasi bencana pada dua masyarakat adat di Banten Kidul. Lewat malakah ini, akan dibahas terkait mitigasi bencana banjir, tanah longsor, kebakaran, dan gempa bumi. Dengan harapan, lewat pemahaman terkait keseiapan dalam menghadapi bencana (mitigasi bencana) tersebut, masyarakat terhindar dari bahaya yang ditimbulkan ketika datang bencana.

Mitigasi Bencana Banjir dan Longsor

Secara umum, rekayasa fungsi dan letak hutan merupakan teknik mitigasi bencana banjir dan longsor yang dilakukan masyarakat adat, baik masyarakat Baduy maupun masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Hutan dibagi menjadi tiga kategori yaitu hutan larangan/titipan, hutan dungusan dan hutan garapan.

Hutan larangan adalah hutan lindung yang tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang, bahkan oleh tetua adat sekalipun. Hutan dungusan adalah hutan yang dilestarikan karena berada di hulu sungai atau diyakini sebagai tempat leluhur berdiam. Sedangkan hutan garapan adalah hutan yang diperbolehkan untuk digarap warga sebagai lahan pertanian.

Pada hutan dungusan terdapat hulu-hulu sungai yang harus dilindungi untuk menjaga keberlanjutan sungai (air) untuk pemenuhan kebutuhan vital masyarakat sehari-hari. Pohon-pohon di hutan ini berfungsi sebagai “payung”. Konsep inilah yang mereka pahami sebagai usaha preventif menahan terjadinya erosi yang dapat menyebabkan longsor dan banjir.

Bentuk lainnya, tercermin dari tradisi pertanian di kedua masyarakat adat tersebut. Tradisi perladangan pada masyarakat Baduy secara tradisional masih dilakukan sampai saat ini sebagai pola pertanian tanaman pangan sub-sistem (untuk pemenuhan kebutuhan sendiri).

Perladangan Baduy utamanya adalah tanaman padi yang dilakukan di ladang yang mereka sebut huma. Selain sebagai bahan makanan pokok, padi juga dianggap sebagai tanaman mulia sebagai penjelmaan dari seorang dewi. Perladangan masyarakat Baduy menganut sistem berpindah-pindah.

Pemilihan ladang didasarkan pada jenis tanah, dan kemiringan lereng. Kemiringan lereng berkaitan langsung dengan mitigasi bencana longsor. Dari kemiringan lereng, orang Baduy membedakan menjadi lahan gedeng (miring/curam) dan lahan cepak (datar). Kenyataannya, permukaan lahan di wilayah Baduy jarang sekali yang datar, sehingga orang Baduy tidak pernah menebang pohon-pohon besar di lahan perladangan mereka untuk menjaga agar tidak terjadi longsor.

Selain itu, orang Baduy membuat teras-teras penahan agar humus tidak ikut hanyut terbawa air hujan. Tradisi Baduy ini mengajarkan untuk tidak menggunakan cangkul dalam berladang. Dalam kepercayaan mereka, cangkul dapat menyebabkan tanah menjadi terbolak-balik yang akan berdampak pada ketidakstabilan tanah. Ketidakstabilan tanah tersebut dapat menyebabkan tanah longsor. Oleh karena itu, orang Baduy menggunakan tongkat kayu (tugal) untuk menanam benih padi di ladang.

Pada masyarakat Kasepuhan Ciptagelar mengenal dua sistem pertanian padi yaitu padi “huma” dan padi sawah. Di kawasan perkampung, letak lahan persawahan berada agak jauh di pinggiran perkampungan yaitu di pinggiran sekitar hutan-hutan kampung. Sawah-sawah dibuat berundak-undak untuk menghindari longsor. Pohon-pohon besar di sekitar sawah tidak boleh ditebangi.

Pola tanam padi yang dilakukan adalah satu tahun sekali. Mereka juga tidak pernah sama sekali menggunakan pupuk kimia dan obat kimia pembasmi hama. Bibit padi yang dipakai juga berasal dari bibit padi yang sama, yang ditanam oleh nenek moyang mereka.

Sejak nenek moyang mereka, pola tanam yang dipakai adalah satu kali menanam padi kemudian dilanjutkan menanam palawija atau ikan konsumsi. Hal ini merupakan salah satu upaya mitigasi bencana terhadap hama tanaman (pangan) dimana filosofi “keseimbangan” digunakan sebagai dasar.

Tidak bisa dipungkiri karena sudah merupakan hukum alam bahwa selama penanaman padi di sawah, sebetulnya juga berbarengan dengan munculnya hama padi. Kepercayaan dari masyarakat Kasepuhan Ciptagelar adalah hama merupakan makhluk hidup yang juga memiliki hak atas alam. Apabila hama tidak ada sama-sekali malah akan mengganggu keseimbangan alam.

Jadi, yang bisa dilakukan adalah membatasi yaitu misalnya dengan jalan menanam padi hanya setahun sekali. Selama menanam padi sawah hama juga berhak memperoleh sedikit bagian dari padi yang ditanam. Tapi, setelah itu mereka “dibatasi” dengan tidak adanya tanaman padi selama beberapa waktu sampai waktu tanam padi selanjutnya.

Menanam ikan setelah panen padi sawah dimaksudkan agar tanah sawah beristirahat dan sisa-sisa tanaman padi bisa menjadi pakan yang baik bagi ikan. Setelah ikan dipanen untuk konsumsi, sisa tanaman padi yang masih ada membusuk dan kotoran ikan adalah pupuk alamiah yang baik untuk menanam padi selanjutnya. Sehingga tidak terjadi pencemaran lingkungan oleh pupuk kimia.

Makalah mitigasi bencana pada dua masyarakat adat di Banten Kidul. Lewat malakah ini, akan dibahas terkait mitigasi bencana banjir, tanah longsor, kebakaran, dan gempa bumi. Dengan harapan, lewat pemahaman terkait keseiapan dalam menghadapi bencana (mitigasi bencana) tersebut, masyarakat terhindar dari bahaya yang ditimbulkan ketika datang bencana.

Mitigasi Bencana Kebakaran

Kebakaran merupakan bencana yang seringkali terjadi, tidak hanya oleh ulah manusia tetapi juga karena faktor alam seperti kebakaran yang terjadi di hutan atau padang rumput karena musim kemarau yang berkepanjangan. Terkait dengan mitigasi bencana kebakaran, pada masyarakat Baduy terdapat tradisi ngahuru atau ngaduruk, yaitu membakar habis bekas tebangan sehabis membuka lahan.

Dahan, ranting, daun, dan rerumputan bekas tebangan pembukaan lahan dionggokkan dengan pola onggokkan besar di tengah-tengah dan dikelilingi onggokkan kecil. Di sekitar onggokkan-onggokkan tersebut sama sekali tidak boleh ada sampah agar ketika pembakaran, api tidak menjalar kemana-mana.

Waktu pembakaran ditentukan berdasarkan pertanggalan bintang. Misalnya, ketika terlihat “bintang kidang” (wuluku) seperti pada posisi matahari pagi, maka itu adalah waktu yang tepat untuk melakukan pembakaran.

Proses pembakaran itu, selesai ketika sudah dipastikan bahwa api benar-benar padam. Kemudian abu pembakaran didiamkan dahulu dilahan sebagai pupuk sambil menunggu hujan tiba.

Waktu pembakaran yang dilakukan malam hari, biasanya dilakukan di wilayah yang lebih dekan ke pemukiman. Hal ini dimaksudkan agar abu bakaran yang masih membara ketika terbang terbawa angin bisa terlihat arah jatuhnya.

Hal tersebut dilakukan untuk menjaga agar abu bakaran tersebut bisa dicegah menjadi kabakaran ketika jatuh di atap rumah yang terbuat dari ijuk dan dahon (daun kelapa kering). Waktu pembakaran ini berbeda-beda tergantung dari untuk kepentingan apa kegiatan tersebut dilakukan.

Makalah mitigasi bencana pada dua masyarakat adat di Banten Kidul. Lewat malakah ini, akan dibahas terkait mitigasi bencana banjir, tanah longsor, kebakaran, dan gempa bumi. Dengan harapan, lewat pemahaman terkait keseiapan dalam menghadapi bencana (mitigasi bencana) tersebut, masyarakat terhindar dari bahaya yang ditimbulkan ketika datang bencana.

Mitigasi Bencana Gempa Bumi

Bangunan rumah Baduy dan Kasepuhan Ciptagelar umumnya berupa rumah panggung yang terbuat dari bahan kayu, bambu, ijuk, dan rumbia. Rumah panggung ini mempunyai bentuk dan ukuran yang hampir sama.

Rumah panggung, secara umum berkaitan dengan kepercayaan bahwa rumah sebagai pusat yang memiliki kekuatan netral yang terletak di antara dunia atas dan dunia bawah. Maka rumah tidak boleh menyentuh tanah langsung, dibuat panggung dengan kaki berupa tiang-tiang yang bertumpu pada batu umpak. Batu umpak ini berfungsi sebagai pencegah rayap atau pelapukan tiang rumah akibat udara basah atau lembab di pegunungan.

Konstruksi bangunan rumah panggung terkait dengan mitigasi bencana gempa. Struktur bangunan didirikan atas sistem rangka balok kayu dan tiang berbentuk segi empat. Bambu, rumbia, rotan dan olahannya digunakan sebagai bahan pendukung.

Semua rincian konstruksi tersebut diselesaikan dengan prinsip-prinsip ikatan, tumpuan, pasak, tumpuan berpaut dan sambungan berkait. Dalam bangunan sama sekali tidak digunakan paku. Jika terjadi gempa, maka struktur rumah akan bergerak dinamis sehingga terhindar dari kerusakan.

Masyarakat Baduy dan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar sudah hidup turun-temurun selama berabad-abad di wilayah mereka. Selama kurun waktu tersebut mereka belajar dari lingkungannya. Hasil pembelajaran dari lingkunganya itu kemudian menjadi prinsip dasar setiap peri kehidupan mereka.

Penutup

Beberapa gambaran cara hidup masyarakat Baduy dan kasepuhan Ciptagelar tersebut, sebetulnya kedua masyarakat adat ini sudah memberi contoh bagaimana pentingnya ekologi dalam kehidupan manusia. Masyarakat memperlihatkan bagaimana prinsip-prinsip yang mereka pelajari diaplikasikan dalam mempertahankan kehidupan dan terutama menjaga kelestarian kehidupan.

Pada dasarnya, budaya asli Indonesia mempunyai falsafah yang sangat peduli lingkungan. Budaya ini, meskipun sudah ada sejak lama, masih sangat relevan dengan kondisi saat ini. Artinya, budaya ini bisa “bergerak dinamis” menyesuaikan dengan perkembangan jaman.

Dengan demikian, sebenarnya, sistem pengetahuan lokal masyarakat tersebut dapat diintegrasikan dalam analisis risiko lingkungan dan mitigasi bencana alam berlandaskan kajian ilmu pengetahuan atau pandangan etik. Sayangnya, kini berbagai pengetahuan lokal tersebut banyak yang mengalami erosi atau bahkan punah, yang tidak terdokumentasikan dengan baik, sebagai sumber ilmu pengetahuan, yang memadukan hasil empirisme dan rasionalisme.

Akhirnya, pemerintah ada baiknya, bisa melakukan proses pengelolaan lingkungan dengan lebih memandang situasi dan kondisi lokal agar pendekatan pengelolaannya dapat disesuaikan dengan kondisi lokal daerah yang akan dikelola. Apabila kepentingan pemerintah dan kekayaan (pengetahuan) lokal masyarakat asli bisa berpadu-padan (sinergis) bisa menjadikan kekuatan besar dalam upaya menjaga keseimbangan dan kelestarian alam. (AD).***

*Catatan: Tulisan ini pernah dimuat dalam majalah Inside.

Makalah mitigasi bencana pada dua masyarakat adat di Banten Kidul. Lewat malakah ini, akan dibahas terkait mitigasi bencana banjir, tanah longsor, kebakaran, dan gempa bumi. Dengan harapan, lewat pemahaman terkait keseiapan dalam menghadapi bencana (mitigasi bencana) tersebut, masyarakat terhindar dari bahaya yang ditimbulkan ketika datang bencana.

Referensi

Soemarwoto, O. 1997. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta. Penerbit Djambatan.

Undang-Undang nomor 24 tahun 2007. Tentang Penanggulangan Bencana Alam. www. bnpb.go.id. diunduh 23 Agustus 2021.

Undang-Undang nomor 32 tahun 2009. Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. www. jdih.esdm.go.id. diunduh 23 Agustus 2021.

Subiyantoro. 2010. Selayang Pandang Tentang Bencana. Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol.I no. 1. Hal 43-46.

Iskandar, J.1992. Ekologi Perladangan di Indonesia: Studi Kasus dari Daerah Baduy, Banten Selatan, Jawa Barat. Jakarta.Jambatan.1992.

Adimiharja, K.2009.Leuweung titipan; Hutan Keramat Warga kasepuhan di Gunung Halimun. Dalam Herwasono Soedito et.el.(Penyunting). Situs Keramat Alami. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Komite Nasional MAB Indonesia. LIPI dan Conservation International Indonesia. Hal. 78-85.

Adimiharja, K.1992. Kasepuhan Yang Luruh Diantara Yang Tumbuh. Bandung. Tarsito.1992.

Utina, R. 2012.Kecerdasan Ekologis Dalam Kearifan Lokal Masyarakat Bajo Desa Torosiaje Provinsi Gorontalo. Prosiding Konferensi dan Seminar Nasional Pusat Studi Lingkungan Hidup Indonesia ke 21. Mataram. Hal.14-20

Irawardana, I. 2012. Kearifan Lokal Adat Masyarakat Sunda Dalam Hubungan Dengan Lingkungan Alam. Jurnal Komunitas. Universitas Negeri Semarang. Vol.4. no. 1. Hal. 1-8.

Maryani, E., Yani, A.2014. Kearifan Lokal Masyarakat Sunda Dalam Memitigasi Bencana dan Aplikasinya Sebagai Sumber Pembelajaran IPS Berbasis Nilai. Jurnal Penelitian Pendidikan. LPPM UPI. Vol.14. no. 2.

Rusdiana, 2015. Membumikan Etika Lingkungan Bagi Upaya Membudayakan Pengelolaan Lingkungan Yang Bertanggung Jawab. Jurnal ISSTEK. Vol. IX no. 2. Juli 2015.

Nopianti, R. 2016. Leuit Si Jimat: Wujud Solidaritas Sosial Masyarakt di Kasepuhan Sirnaresmi. Jurnal Patanjala Vol. 8 No. 2 Juni 2016: 219 – 234

Kusdiwanggo. S. 2016. Konsep Pola Spasial Permukiman Di Kasepuhan Ciptagelar. Jurnal Permukiman Vol. 11 No. 1 Mei 2016 : 43-56

Permana, E., Dkk. 2011. Kearifan Lokal Tentang Mitigasi Bencana Pada Masyarakat Baduy. Makara, Sosial Humaniora. Vol. 15. No. 1. Juli 2011. Hal. 67-76

Syarbini, A, 2015. Kearifan Lokal Baduy Banten. Jurnal Refleksi. Vol. 14. No. 1. April 2015.

Murdiati, E. 2015. Pengetahuan Ekologi Lokal. Jurnal Wardah. No.XXX Thn XVI. Desember  2015.

Iskandar, J., Iskandar,B.S.  2017. Kearifan Ekologi Orang Baduy Dalam Konservasi Padi dengan “Sistem Leuit”. Jurnal Biodjati. Vol.2. no.1. 2017. Hal.38-51.

Print Friendly, PDF & Email

Berita Sebelumnya

Vaksinasi MPOX untuk Kelompok Resiko Tinggi: LSL dan GBMSM

Vaksinasi MPOX untuk Kelompok Resiko Tinggi: LSL dan GBMSM

Pemberian vaksin Mpox di Indonesia hanya ditujukan untuk kelompok berisiko tinggi sesuai dengan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) soal pemberian vaksin cacar dan Mpox. Menurut Direktur Pengelolaan Imunisasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI dr. Prima...

Alat Kontrasepsi Hanya untuk Pasangan yang Sudah Menikah

Alat Kontrasepsi Hanya untuk Pasangan yang Sudah Menikah

Jakarta, 6 Agustus 2024 Pemerintah telah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan. Salah satunya memuat upaya pemerintah meningkatkan layanan promotif dan preventif atau mencegah masyarakat menjadi...

Tekan Konsumsi Perokok Anak Dan Remaja

Tekan Konsumsi Perokok Anak Dan Remaja

Jakarta, 2 Agustus 2024 Aturan pengendalian zat adiktif produk tembakau yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menjadi sorotan publik. Khususnya, aturan...