Peran Kesehatan Lingkungan Atasi Stunting

21 Aug 2022Info Kesehatan

Beranda 9 Info Kesehatan 9 Peran Kesehatan Lingkungan Atasi Stunting

Peran kesehatan lingkungan atasi stunting itu sangat penting. Di sini, peran kesehatan lingkungan, seperti: sumber air minum, sanitasi, dan pengelolaan sampah dalam mengurangi stunting anak di Indonesia itu sangat penting. Menurut hasil penelitian Irianti et al., (2019) bahwa faktor lingkungan telah terbukti berhubungan dengan stunting sebagai penyebab tidak langsung.

SUNGGUH kontras pemandangan di depan mata. Ada 2 orang anak kecil sebaya berdiri tegak di depan kamera, yang satu berumur 41 bulan (dengan tinggi badan 98 cm dan berat badan 15,2 kg) sedangkan disebelahnya berdiri anak berumur 43 bulan (tapi memiliki tinggi badan hanya 85,7 cm dan berat badan hanya 9,7 kg).

Sungguh miris kondisi tersebut, bila kita membandingkan pada anak yang normal dan anak stunting. Inilah gambaran potret anak stunting yang ada di beberapa daerah Indonesia. Datanya, menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 saja di Indonesia sekitar 37% (hampir 9 juta) anak di bawah lima tahun (balita) mengalami stunting (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013). Sementara, untuk di seluruh dunia, Indonesia ini adalah negara yang memiliki prevalensi stunting kelima terbesar.

Saat ini, bayi dan balita merupakan kelompok yang memiliki prevalensi tinggi terhadap kejadian stunting di Indonesia. Stunting ini merupakan ganguan pertumbuhan linear yang disebabkan malnutrisi asupan zat gizi kurang. Apalagi didukung malnutrisi ini merupakan masalah utama kesehatan masyarakat yang terjadi di negara berkembang, terutama terjadi pada bayi, anak-anak, dan wanita usia reproduktif.

Dengan kata lain, stunting ini merupakan kondisi akan gagalnya tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis yang membuat si anak tumbuh terlalu pendek untuk usianya. Tepatnya, kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir. Tapi, stunting ini baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun.

Kondisi tersebut, tentu berbahaya. Pasalnya, Badan Kesehatan Dunia (WHO) pernah meliris bahwa balita/baduta yang mengalami stunting akan memiliki tingkat kecerdasan tidak maksimal, menjadikan anak menjadi lebih rentan terhadap penyakit tertentu. Akibatnya, si anak di masa depan dapat beresiko pada menurunnya tingkat produktivitas. Ujungnya, stunting ini dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan, dan memperlebar ketimpangan di masyarakat.

Stunting ini merupakan kondisi akan gagalnya tumbuh pada anak balita akibat dari kekurangan gizi kronis yang membuat si anak tumbuh terlalu pendek untuk usianya. Tepatnya, kekurangan gizi itu terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir. Namun, baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun.

Parameter balita pendek (stunted) dan sangat pendek (severely stunted) ialah balita dengan panjang badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya dibandingkan dengan standar baku dari WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) 2006 (WHO Multicentre Growth Reference Study Group, 2006). Sementara itu, definisi stunting versi dari Kementerian Kesehatan RI adalah kondisi anak balita dengan nilai z-score-nya kurang dari -2 SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari -3 SD (severely stunted) (Trihono et al., 2015).

Stunting ini disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak semata-mata karena faktor gizi buruk yang dialami ibu hamil maupun anak balita. Bila kita cermati dari data Riskesdas tahun 2010, prevalensi balita pendek terus meningkat jelas pada kelompok umur 0-23 bulan. Dari angka 28,1% pada kelompok umur < 5 bulan, menjadi 32,1% pada kelompok umur 6-11 bulan, hingga menjadi 41,5% pada kelompok umur 12-23 bulan (RISKESDAS, 2013).

Padahal, kita tahu kondisi tinggi badan ini sangat berkaitan dengan produktivitas. Kondisi kurangnya tinggi badan saat dewasa adalah akibat dari stunting masa kecil yang berhubungan dengan hilangnya produktivitas sebesar 1,4%. Lebih jauh, stunting ini juga menurunkan tingkat kecerdasan (IQ) seseorang dari 5-11 poin (World Bank) (The World Bank, 2007)(‘Nutritional failure in Ecuador: Causes, consequences, and solutions’, 2007). Bahkan menurut Mendez, stunting yang terjadi pada usia terlalu dini cenderung membuat kondisi stunting lebih parah (Mendez et al., 2015).

Untuk itu, masa antara kehamilan/janin hingga dua tahun pertama kehidupan anak adalah masa kritis, disebabkan kebutuhan gizi pada kelompok ini paling tinggi padahal kelompok ini yang paling rawan memperoleh pola asuh yang salah, akses pelayanan kesehatan yang tidak cukup dan pola pemberian makan yang tidak tepat.

Stunting ini merupakan kondisi akan gagalnya tumbuh pada anak balita akibat dari kekurangan gizi kronis yang membuat si anak tumbuh terlalu pendek untuk usianya. Tepatnya, kekurangan gizi itu terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir. Namun, baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun.

Parameter balita pendek (stunted) dan sangat pendek (severely stunted) ialah balita dengan panjang badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya dibandingkan dengan standar baku dari WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) 2006 (WHO Multicentre Growth Reference Study Group, 2006). Sementara itu, definisi stunting versi dari Kementerian Kesehatan RI adalah kondisi anak balita dengan nilai z-score-nya kurang dari -2 SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari -3 SD (severely stunted) (Trihono et al., 2015).

Stunting ini disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak semata-mata karena faktor gizi buruk yang dialami ibu hamil maupun anak balita. Bila kita cermati dari data Riskesdas tahun 2010, prevalensi balita pendek terus meningkat jelas pada kelompok umur 0-23 bulan. Dari angka 28,1% pada kelompok umur < 5 bulan, menjadi 32,1% pada kelompok umur 6-11 bulan, hingga menjadi 41,5% pada kelompok umur 12-23 bulan (RISKESDAS, 2013).

Padahal, kita tahu kondisi tinggi badan ini sangat berkaitan dengan produktivitas. Kondisi kurangnya tinggi badan saat dewasa adalah akibat dari stunting masa kecil yang berhubungan dengan hilangnya produktivitas sebesar 1,4%. Lebih jauh, stunting ini juga menurunkan tingkat kecerdasan (IQ) seseorang dari 5-11 poin (World Bank) (The World Bank, 2007)(‘Nutritional failure in Ecuador: Causes, consequences, and solutions’, 2007). Bahkan menurut Mendez, stunting yang terjadi pada usia terlalu dini cenderung membuat kondisi stunting lebih parah (Mendez et al., 2015).

Untuk itu, masa antara kehamilan/janin hingga dua tahun pertama kehidupan anak adalah masa kritis, disebabkan kebutuhan gizi pada kelompok ini paling tinggi padahal kelompok ini yang paling rawan memperoleh pola asuh yang salah, akses pelayanan kesehatan yang tidak cukup dan pola pemberian makan yang tidak tepat.

Empat Faktor Penyebab Stunting

Sementara itu, dalam laporan yang dikeluarkan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan/TNP2K terkait prioritas untuk intervensi anak kerdil (stunting), disebutkan paling tidak ada empat faktor yang menjadi penyebab stunting.(Kemiskinan/TNP2K, 2017)  (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan/TNP2K, 2018).

Pertama, praktek pengasuhan yang kurang baik. Yakni termasuk kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan, serta setelah ibu melahirkan. Faktanya, 60% dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan air susu ibu (ASI) secara ekslusif. Dan 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI). Harusnya, MP-ASI ini diberikan ketika balita berusia 6 bulan. Kita tahu, keberadaannya selain berfungsi untuk mengenalkan jenis makanan baru pada bayi. MP-ASI juga dapat mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh bayi yang tidak lagi dapat disokong oleh ASI. Yang lebih penting, ia dapat membentuk daya tahan tubuh dan perkembangan sistem imunologis anak terhadap makanan maupun minuman.

Kedua, masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan, pasca melahirkandan pembelajaran dini yang berkualitas. Data Bank Dunia dan Kemenkes selama ini menyatakan tingkat kehadiran anak di Posyandu semakin menurun dari 79% (2007) menjadi 64% (2013) dan anak belum mendapat akses yang memadai ke layanan imunisasi. Fakta menarik lainnya, 2 dari 3 ibu hamil belum mengkonsumsi suplemen zat besi yang memadai serta masih terbatasnya akses ke layanan pembelajaran dini yang berkualitas. Yakni baru 1 dari 3 anak usia 3-6 tahun belum terdaftar di layanan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

Ketiga, masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan bergizi. Hal ini dikarenakan harga makanan bergizi di Indonesia masih tergolong mahal. Menurut sumber Riskesdas 2013, SDKI 2012, dan Susenas, komoditas makanan di Jakarta 94% lebih mahal dibanding dengan di New Delhi, India. Harga buah dan sayuran di Indonesia lebih mahal dari Singapura. Kondisi terbatasnya akses makanan bergizi di Indonesia ini telah berkontribusi pada 1 dari 3 ibu hamil mengalami anemia.

Keempat, kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi. Fakta di lapangan saat ini, menunjukkan bahwa masih ada 1 dari 5 rumah tangga di Indonesia perilaku buang air besar (BAB) di ruang terbuka, serta 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki akses ke air minum bersih.

Peran Kesehatan Lingkungan Atasi Stunting

Beberapa penyebab di atas, berkontribusi pada masih tingginya prevalensi stunting di Indonesia. Lalu, apa peran kesehatan lingkungan atasi stunting?

Untuk itu, perlu segera selamatkan pertumbuhan anak-anak Indonesia agar terhindar dari stunting. Sejak tahun 2010, di dunia melakukan gerakan global untuk mengatasi stunting yang dikenal dengan Scaling-Up Nutrition (SUN).

Prinsip dasar gerakan SUN adalah semua penduduk berhak untuk memperoleh akses ke makanan yang cukup dan bergizi. Indonesia sendiri, sejak tahun 2012 bergabung dalam gerakan tersebut melalui dua kerangka besar intervensi stunting (SUN Movement, 2011).

Untuk itu, kenali stunting agar pertumbuhan anak jadi penting. Berikut ini hal-hal untuk menyelamatkan pertumbuhan anak, yaitu:

Pertama, intervensi gizi spesifik. Yaitu intervensi yang ditujukan kepada anak dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada 30% penurunan stunting. Kerangka kegiatan intervensi gizi spesifik ini, umumnya dilakukan pada sektor kesehatan. Bentuk kegiatan yang masuk jangka pendek ini, meliputi intervensi gizi spesifik dengan sasaran: ibu hamil; ibu menyusui dan anak usia 0-6 bulan; serta ibu menyusui dan anak usia 7-23 bulan.

Kedua, intervensi gizi sensitif. Kerangka kegiatan ini, idealnya tentu dilakukan melalui berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan dan berkontribusi pada 70% intervensi stunting.

Ketiga, peran kesehatan lingkungan (sumber air minum, sanitasi, dan pengelolaan sampah) dalam mengurangi stunting anak di Indonesia. Menurut hasil penelitian (Irianti et al., 2019) bahwa faktor lingkungan telah terbukti berhubungan dengan stunting sebagai penyebab tidak langsung. Namun, sejauh mana faktor lingkungan menentukan beban pengerdilan di pedesaan Indonesia masih belum diselidiki. Oleh karena itu, penelitian ini menyelidiki faktor lingkungan yang menentukan stunting pada anak U-5 di pedesaan Indonesia.

Penelitian tersebut menggunakan data dari Survei Kehidupan Keluarga Indonesia 2014/2015 (IFLS5) dan memilih ukuran sampel 2.571 anak balita yang tinggal di daerah pedesaan. Peneliti melakukan analisis regresi logistik multivariabel dan memperkirakan “population attributable fraction” (PAF) air minum, sanitasi, dan pengumpulan sampah pada stunting.

Hasil penelitian tersebut (Irianti et al., 2019), menunjukkan bahwa sumber air minum yang tidak memadai dan pengumpulan sampah yang tidak tepat berhubungan dengan kemungkinan yang lebih tinggi dari stunting pada anak. Fasilitas sanitasi yang tidak memadai, bagaimanapun, tidak ditemukan secara signifikan mempengaruhi kemungkinan stunting.

Selain itu, kekayaan rumah tangga adalah pelindung dari risiko stunting. Selanjutnya, analisis PAF menunjukkan bahwa 21,58% dari beban stunting di antara anak-anak U-5 yang tinggal di daerah pedesaan dapat dicegah dengan menyediakan akses ke sumber air minum yang lebih baik dan pengelolaan limbah padat rumah tangga yang lebih baik untuk mencegah infeksi berulang (Irianti et al., 2019).

Jadi, kegiatan ini daya ungkitnya cukup besar dan bisa melibatkan semua sektor. Sasaran intervensi gizi spesifik ini ialah masyarakat secara umum dan tidak khusus ibu hamil dan balita pada 1.000 HPK. Bentuk kegiatannya, bisa berupa menyediakan akses dan memastikan ketersediaan terhadap sanitasi maupun air bersih; melakukan fortifikasi bahan pangan; memberikan pendidikan gizi masyarakat; memberikan pelayanan PAUD; meningkatkan ketahanan pangan dan gizi; serta kegiatan lainnya yang menunjang terpenuhinya gizi sensitif.

Akhirnya, semoga dengan kita mengenali stunting secara dini, diharapkan masyarakat pun menganggap pertumbuhan anak itu menjadi penting. Jadi, kenali stunting agar pertumbuhan anak jadi penting. Sehingga lewat kepekaan para orangtua, angka kejadian anak stunting dapat ditekan (menurun). Semoga.. aamiin!.

Arda Dinata

Print Friendly, PDF & Email

Berita Sebelumnya

Vaksinasi MPOX untuk Kelompok Resiko Tinggi: LSL dan GBMSM

Vaksinasi MPOX untuk Kelompok Resiko Tinggi: LSL dan GBMSM

Pemberian vaksin Mpox di Indonesia hanya ditujukan untuk kelompok berisiko tinggi sesuai dengan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) soal pemberian vaksin cacar dan Mpox. Menurut Direktur Pengelolaan Imunisasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI dr. Prima...

Alat Kontrasepsi Hanya untuk Pasangan yang Sudah Menikah

Alat Kontrasepsi Hanya untuk Pasangan yang Sudah Menikah

Jakarta, 6 Agustus 2024 Pemerintah telah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan. Salah satunya memuat upaya pemerintah meningkatkan layanan promotif dan preventif atau mencegah masyarakat menjadi...

Tekan Konsumsi Perokok Anak Dan Remaja

Tekan Konsumsi Perokok Anak Dan Remaja

Jakarta, 2 Agustus 2024 Aturan pengendalian zat adiktif produk tembakau yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menjadi sorotan publik. Khususnya, aturan...