Perlunya membangun TPSA yang sanitair agar insiden Bojong yang begitu menghebohkan terulang. Hampir semua media cetak dan elektronik memberitakan kejadian tersebut. Waktu itu ribuan warga Bojong dan sekitarnya memblokir jalan untuk menolak dioperasikannya Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bojong. Penolakan ini berbuntut kerusuhan. Lima warga tertembak, dan seluruh areal TPST dirusak.
Paling tidak, menurut saya, ada tiga hal penyebab terjadinya insiden Bojong tersebut. Pertama, karena kekecewaan yang terjadi selama ini terhadap aspirasi warga sekitar TPST Bojong yang telah “diabaikan”. Karena kita tahu, tindakan penolakan warga sekitar terhadap pengoperasian TPST Bojong ini sudah beberapa kali terjadi. Mereka menilai TPST Bojong harus ditutup. Tapi, aspirasi ini kelihatannya tidak direspon dengan baik.
Kedua, insiden tersebut terjadi akibat “lemahnya” proses sosialisasi. Dan ketiga, dengan dalih otonomi daerah, ternyata dalam proses perencanaan pengelolaan lingkungan di TPST Bojong kurang koordinatif dengan lembaga terkait.
Hikmah dari kejadian Bojong ini, terkait dengan masalah pengelolaan lingkungan (sampah), sebenarnya ada hal yang patut menjadi catatan kita (baca: tiap daerah) bahwa permasalahan lingkungan itu bukan milik perseorangan atau golongan. Tapi, ia adalah milik dan tanggung jawab kita semua sebagai penghuni bumi.
Artinya, pengelolaannya itu harus integral dan pengambilan keputusan dalam pengelolaan lingkungan di suatu daerah haruslah melibatkan semua komponen masyarakat dan pemerintah, lebih-lebih di era reformasi saat ini. Pertanyaannya adalah studi pendahuluan seperti apa yang harus dilakukan untuk menetapkan suatu tempat yang dijadikan sebagai Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA) yang sanitair? Untuk itu, saatnya perlunya membangun TPSA yang sanitair.
TPSA Sanitair
Suatu program pengelolaan sampah belum bisa dikatakan berhasil keseluruhannya dengan baik, tanpa menyelesaikan hingga tahap disposalnya (pembungan akhir) dengan baik. Berkait dengan tahap pembungan akhir (refuse disposal) ini, sebelum kita menetapkan suatu tempat yang akan dijadikan sebagai TPSA, maka terlebih dahulu kita perlu melakukan studi pendahuluan.
Adanya studi pendahuluan tersebut, dimaksudkan untuk mempertimbangkan sejumlah aspek. Pertama, aspek kesehatan dan estetika. Dalam hal ini dimaksudkan, misalnya sampah harus dihindarkan (tidak expose) dari kemungkinan bersarang/ berkembang biak, bagi vektor penyakit, binatang pengganggu maupun jamahan para pemulung dalam sampah yang ditampung.
Kedua, harus ditentukan pula sistem dan metode pengelolaan sampah yang digunakan. Dari studi ini didapat sistem dan metode pengelolaan sampah mana yang tepat dilakukan dan dikembangkan.
Ketiga, penggunaan tenaga mekanisasi. Dalam hal ini, mekanisasi yang dimaksud tidak lain metode yang menggunakan tenaga secara intensif harus diterapkan, jika penggunaan mesin tidak dapat mengurangi pembiayaan total, atau bila dipandang penting untuk perlindungan kesehatan.
Keempat, menentukan produktivitas dari pengelolaan sampah. Produktivitas tinggi akan dapat dicapai dengan metode dan studi kelayakan waktu secara prioritas diberikan pada sesuatu komponen yang memiliki produktifitas tinggi.
Sementara itu, menyangkut metode pembuangan sampah yang sesuai dengan kesehatan, terdapat empat sistem pembuangan. Pertama, ginding system, yakni suatu metode pembuangan sampah, khususnya sampah basah (garbage) yang berasal dari sisa makanan dari dapur-dapur perumahan ataupun restoran dengan cara menghancurkannya lebih dahulu. Kemudian, dibuang ke selokan pembuangan air kotor untuk mengalami pemecahan atau pembusukan dalam instalasi pembuangan air kotor.
Kedua, composting, yaitu pemecahan bahan-bahan organik dari sampah secara biokimia, yang memproduksi hasil akhir bahan-bahan menyerupai humus dan digunakan untuk mengatur kondisi tanah pertanian (soil conditioning). Composting ini juga belum merupakan cara pembuangan sampah secara tuntas, karena dari proses ini diperlukan proses-proses pemilihan bahan sebelumnya. Bahan-bahan yang tidak digunakan sebagai bahan kompos harus dibuang.
Ketiga, incineration, yaitu merupakan cara pembuangan sampah yang digunakan paling extensif di Amerika Serikat. Teknik pembakaran sampah ini telah dicoba dalam suatu proyek percontohan dengan alat the Combustion Power Unit 400 yang dapat membakar sampah sekaligus membangkitkan tenaga listrik. Keistimewaan alat ini adalah dilengkapi dengan peralatan yang bisa menghindari terjadinya polusi udara akibat pembakaran sampah seperti partikel-partikel debu, gas-gas yang bersifat korosif terhadap logam.
Keempat, sanitary landfill, yakni suatu cara pembuangan sampah yang merupakan final disposal yang sesungguhnya, tanpa adanya pengolahan/penanganan sebelumnya terhadap sampah yang akan dibuang. Oleh karena itu, ada pertimbangan-pertimbangan lain yang bernada merugikan dengan cara ini yaitu banyaknya bahan-bahan yang mempunyai potensial untuk digunakan kembali tertanam begitu saja. Tapi, hal ini dapat dihindari seandainya dari awal para penimbun sampah telah memisahkan antara sampah yang bisa di daur ulang (secara langsung) dengan sampah yang tidak bisa dimanfaatkan kembali secara ekonomis.
Namun demikian, cara ini merupakan cara yang paling mudah dan murah dibanding dengan cara-cara sebelumnya. Pada prinsipnya sanitary landfill adalah suatu cara pembuangan sampah ke tempat-tempat rendah dan ditutup dengan tanah (dengan syarat teknis tertentu) untuk memenuhi persyaratan sanitasi. Misalnya, menghindari adanya lalat dan tempat berkembangbiak binatang pengganggu serta menghindari bau dari tumpukan sampah.
Akhirnya, sudahkah pola-pola dan pemikiran seperti diuraikan di atas telah dilakukan pemerintah dalam pemilihan lokasi TPST Bojong, termasuk masalah metode yang digunakan? Apalagi terdengar kabar bahwa metode yang digunakan “menyeleweng” dari dokumen Amdal, yaitu dari metode sanitary landfill berubah menjadi incineration yang disangsikan kualitas pengendalian polusi udaranya? Disinilah perlunya membangun TPSA yang sanitair agar musibah tidak berulang.
Arda Dinata