Segitiga penyakit tular vektor, menjadi modal dasar dalam memaknai penyebaran penyakit tular. Secara epidemiologi, perkembangan penyakit tular vektor ini dipengaruhi oleh adanya sumber penyakit (agent), manusia penjamu (host), dan lingkungan (environment).
Penyakit tular vektor masih menjadi permasalahan kesehatan di Indonesia, seperti demam berdarah dengue (DBD), chikungunya, filariasis, pes, dan malaria. Kedatangan penyakit tular vektor ini terkadang menghentak kesadaran kita akan perlunya memelihara kondisi lingkungan di sekitar manusia.
Ia selalu datang menyapa tanpa butiran kata-kata. Tapi, yang terlihat hanya korban kesakitan terkapar merana menahan getirnya rasa sakit yang mendera.
Bila kita tafakuri, harusnya derajat kesadaran masyarakat akan segitiga penyakit tular vektor ini meningkat. Namun, nyatanya kejadian kesakitan akibat penyakit tular vektor ini terus berulang dengan jumlah yang tidak sedikit.
Ada kecenderungan di masyarakat menanggapinya sebagai sesuatu hal yang biasa. Mereka beralasan bukankah tiap tahun muncul penyakit DBD, chikungunya, filariasis, dan malaria di sekitar tempat tinggalnya?
Ada hal yang sepatutnya menjadi modal dasar dalam memaknai penyebaran penyakit tular vektor ini, yaitu keberadaan segitiga epidemiologi perkembangan penyakit. Artinya secara epidemiologi, perkembangan penyakit tular vektor ini dipengaruhi oleh adanya sumber penyakit (agent), manusia penjamu (host), dan lingkungan (environment). Inilah inti segitiga penyakit tular vektor.
Sebagai gambaran, bila di suatu wilayah terdapat suatu sumber penyakit (misalnya: virus, bakteri, dan parasit) sebagai agent-nya dengan kondisi lingkungan yang bersahabat dan penurunan daya tahan manusia, serta kondisi host yang rentan, maka sangat memungkinkan untuk terjadinya kesakitan baru dan bahkan tidak jarang menimbulkan terjadinya kejadian luar biasa (KLB).
Ujungnya, bila lingkungan sudah tidak kondusif bagi tumbuh kembang agent dan adanya peningkatan daya tahan manusia, maka penyakit akan menjauh. Dalam kondisi ini harus kita pahami bahwa sejatinya agent penyakit itu tidak hilang, tapi tetap ada di daerah tertentu (sebagai kantong penyakit). Sehingga keberadaannya tidak berpengaruh terhadap status kesehatan masyarakat.
Atau premis lainnya, bisa jadi agent itu ada dalam keadaan menikmati ”tidur panjang” (dormant) di lingkungan atau dalam tubuh manusia. Kondisi terakhir inilah yang kita sebut sebagai bahaya latent penyakit. Baru setelah kondisi lingkungan dan host telah mendukung perkembangan penyakit, maka si agent yang dormant ini akan bangun kembali siap mencari korban (kesakitan) baru. Jadi, waspadalah….!!!***
Untuk mengatasi semua itu, Andy Haines, MD, dan Kristie Ebi, MPH, Ph.D., menyarankan profesional kesehatan memeiliki peran utama untuk dimainkan dalam mengatasi perubahan iklim. Mereka dapat mendukung sistem kesehatan dalam mengembangkan adaptasi yang efektif untuk mengurangi risjio dari perubahan iklim. Akhirnya, pemerintah, para profesional dan bersama masyarakat harus melakukan tindakan tegas dalam melindungi generasi sekarang dan mendatang dari dampak perubahan iklim. Caranya, mari selamatkan dan lindungi kondisi lingkungan yang berakibat pada perubahan iklim.
Arda Dinata