Sejarah program ketahanan pangan. Untuk memahami kondisi ketahanan pangan di masyarakat, perlu memahami keberadaan sejarah program ketahanan pangan itu sendiri. Secara periode, program ketahanan pangan ini meliputi tiga periode, yaitu: program food estate era 1, program food estate era 2, dan program food estate era 3.
Keberadaan pangan ini menjadi hal penting dalam kehidupan manusia. Atas pola pikir inilah, dalam tataran kehidupan masyarakat ini dikenal adanya ketahanan pagan (pemerintah) dan kedaulatan pangan (masyarakat). Keberadaan dua hal inilah menjadi penting untuk dikedepankan saat kita bicara masalah keamanan pangan (segi kesehatan).
Secara sederhana, ketahanan pangan itu merupakan suatu kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Sedangkan kedaulatan pangan adalah konsep pemenuhan pangan melalui produksi lokal, di mana pemenuhan hak atas pangan yang berkualitas gizi baik dan sesuai secara budaya, diproduksi dengan sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Berdasarkan pengertian tersebut, terlihat kalau ketahanan pangan itu lebih menitikberatkan pada ketersediaan pangan bagi rakyat sebagai tujuan akhir dari pembangunan pangan. Sementara itu, kedaulatan pangan lebih menitikberatkan pada hal kemandirian pangan, perlindungan kepada petani, dan ekosistem lokal. Program kedaulatan pangan yang ada di masyarakat itu mengandung arti bahwa sebuah negara harus mampu mengatur produksi dan konsumsi pertanian yang berorientasi kepada kepentingan lokal dan nasional, bukan pasar global.
Progam Ketahanan Pangan
Untuk memahami kondisi ketahanan pangan di masyarakat, perlu memahami keberadaan sejarah program ketahanan pangan itu sendiri. Secara periode, program ketahanan pangan ini meliputi tiga periode, yaitu: program food estate era 1, program food estate era 2, dan program food estate era 3.
Program Food Estate Era 1
Pada tahun 1995 melalui Keppres no 82/95, Presiden Soeharto membuat Proyek Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar sawah di Kalimantan Tengah. Keberadaan program PLG itu, akhirnya diputuskan berakhir dan gagal pada tahun 1998 melalui keppres 33/98 di masa pemerintahan BJ Habibie.
PLG tersebut gagal dikarenakan kurangnya kajian sosio-ekologis pada ekosistem gambut. Artinya program PLG itu adanya ketidaksesuaian lahan dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
Dalam arti lain, adanya kerusakan lahan gambut itu, akhirnya memicu kerugian sosial-ekonomi akibat kebakaran hutan. Di mana, kondisi itu memiliki beban biaya penanggulangan bencana yang menguras keuangan negara dan semakin memiskinkan rakyat.
Lebih jauh, bahkan keberadaan lumbung pangan menjadi gagal dibangun dan justru sebagian wilayahnya telah berganti menjadi perkebunan sawit hingga saat ini. Ironisnya proyek ini dibangun dengan menggunakan Dana Reboisasi (DR) sebesar 1,7 T yang diperuntukkan bagi pemulihan hutan.
Hal tersebut, terbukti dari adanya Keppres No. 80/1999 yang telah mengalokasikan dana untuk pembayaran ganti rugi kepada masyarakat yang terdampak. Termasuk, Inpres 2/2007 yang juga mengalokasikan dana sebesar 3,9 Triliun untuk melakukan rehabilitasi lahan gambut, tetapi tidak ada kejelasan tentang penggunaannya di lapangan. Bahkan, wilayah ini juga menjadi wilayah prioritas kerja Badan Restorasi Gambut dengan alokasi dana pemerintah tetapi tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap pengelolaan dan pemulihan kawasan dimaksud hingga saat ini.
Program Food Estate Era 2
Tahap program ketahan pangan periode kedua ini terjadi pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Yaitu adanya program Merauke Integrated Energi Estate (MIFEE) tahun 2010.
MIFEE ini diterbitkan lewat Inpres No. 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi Tahun 2008-2009, khususnya untuk mempersiapkan program MIFEE dan Inpres No. 1/2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010.
Inti dari program MIFEE itu adalah membuka lahan untuk mencetak sawah 1,2 juta ha. di Merauke, Papua. Tujuan utama program itu adalah memperkuat cadangan pangan dan bioenergi nasional untuk memantapkan dan melestarikan ketahanan pangan nasional.
Sejarah mencatat, ternyata tujuan program MIFEE itu tidak berhasil. Hutan sagu rakyat menjadi rusak. Masyarakat mengalami kesulitan mencari bahan makanan seperti sagu, ikan, dan daging rusa/babi setelah hutan-hutannya dikonversi.
Selanjutnya ada program Food Estate Bulungan, Kalimantan utara, tahun 2011. Yaitu program membuka lahan untuk mencetak sawah 30.000 ha. Program ini diproyeksi membangun lahan transmigrasi di kawasan Kota Terpadu Mandiri Salim Batu.
Program ketahanan pangan selanjutnya, yaitu program Food Estate Ketapang, Kalbar, tahun 2013. Yaitu program membuka lahan untuk mencetak sawah 100.000 ha di Ketapang, Kalimantan Barat. Hasilnya, hanya sekitar 0,11% lahan yang berhasil termanfaatkan.
Secara demikian, proyek Food Estate Bulungan dan Ketapang itu tidak berhasil. Hal ini disebabkan karena ketidaksesuaian kondisi sosial budaya serta belum tersedianya infrastruktur pendukung.
Program Food Estate Era 3
Tahap ketiga terkait program ketahanan pangan yang dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Berikut ini, tahapan program ketahanan pangan yang dibuat, yaitu:
Pertama, program 30.000 ha sawah di Kalimantan Tengah tahun 2020.Program ini ada seluas 20.000 ha yang dilaksanakan di “bekas” proyek lahan gambut sejuta hektar.
Program tersebut dilakukan berupa intensifikasi sistem pengairan yang dihidupkan kembali. Telah dibuka, ada seluas 10.000 ha lahan baru, di Pulang Pisang (daerah transmigrasi).
Dalam program itu, untuk percepatan seluruh kebutuhan pertanian (bibit, pupuk, alat dan mesin pertanian) disediakan oleh pemerintah. Anggota TNI dilatih selama seminggu yang kemudian dikaryakan menjadi petani.
Program ini dari tahun 1982 sudah ada transmigran di Pulang Pisang. Selama 40 tahun bertani sawah sehingga sudah terbentuk suatu budaya pertanian (sudah baku). Sejarah membuktikan, ternyata membutuhkan waktu yang lama untuk membentuk kultur pertanian sawah di daerah ini.
Kedua, perkebunan singkong 31.000 ha di daerah Gunung Mas, tahun 2021. Program ini mencetak cadangan karbohidrat (rencana u/ 120 hari). Dalam proyek ini, ditawarkan adanya kerjasama investasi dengan Korea Selatan dengan penawaran singkong sebagai penganti gandum. Lahan yang digunakan, setengahnya (15.000 ha) adalah dengan membuka hutan alam.
Faktanya, selama tahun 2021 telah dibuka 600 ha hutan alam yang menimbulkan terlepasnya 61.000 ton karbon (bertambah efek rumah kaca). Dampaknya adalah telah terjadi banjir di beberapa daerah yang sebelumnya tidak pernah banjir.
Ketiga, lumbung Pangan 30.000 ha di Humbang Hasundutan, Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, dan Pakpak Bharat, Sumatera Utara. Dalam proyek ini dibuka lahan 30.000 ha di tiga kabupaten untuk diberikan kepada petani yang belum memiliki lahan untuk diolah.
Pada konteks ini, petani di kontrak, diberi lahan 3 ha, serta diberikan alat-bahan kebutuhan pertanian termasuk bibit dan pupuk. Jenis tanaman yang ditanam harus yang bibitnya diberikan oleh pemerintah.
Selain itu, pola cocok tanam juga harus menurut aturan pemerintah. Hasil panen dibeli oleh koperasi (yang juga menentukan harga). Faktanya, ternyata hasil panen tidak sesuai dengan perkiraan (rencana 1 hektar lahan kentang menghasilkan panen 10 ton, ternyata hanya 3 hektar lahan kentang baru menghasilkan 10 ton).
Fakta lainnya, pengelolaan pengadaan alat, bahan, bibit, dan pupuk dalam proyek ini diserahkan pada korporasi swasta. Bibit yang diberikan untuk keperluan industri, bukan pemenuhan pangan rakyat. Akibatnya, petani memilih untuk menjual ke pasar karena harga lebih baik. Akhirnya, pemerintah sebaiknya berpikir tentang bagaimana melakukan modernisasi pertanian tanpa harus membangun. Tapi, lebih memanfaatkan terhadap pertanaian yang sudah ada. (Rohmansyah W. Nurindra/AD).